Innalillahi wainaillahi rojiun
Akhirnya sampai juga di tanggal
yang selama ini dirahasiakan dan tertulis rapi di Lauful Mahfudz. Ya Allah,
lapangkanlah jalan mbah uti. Terima kasih telah memberi kami cukup banyak waku
untuk merasakan kasih sayang almarhumah. Hamba mengerti bahwa sejatinya inilah
yang terbaik. Mbah uti sudah lama merasakan sakit, sudah terlalu lama gusar dan
tidak tentram hatinya, Ya Rabb, terima kasih telah Kau angkat segala sakitnya.
Kukira akan mudah saja melalui
momen ini. Mendapat kabar siang tadi dari ibu di rumah, sedikit meninggalkan
rasa sedih. Hanya sedikit. Namun, entah mengapa memori masa kecil terputar
kembali, dengan begitu lancar, terlalu lancar. Lantas kesedihan itu muncul tak
terbendung, tersedu-sedu bukan main. Ya Robb begini rasanya memiliki padahal
tidak. Ya Robb segala yang ada di bumi adalah milikMu, kumohon berilah kami
kepekaan hati agar selalu bisa menjalani takdir-takdir indahMu dengan penuh
rasa syukur dan sabar.
Mbah uti adalah sosok yang telah
memberi pengalaman masa kecil tak terlupakan. Seperti tradisi di keluarga jawa
pada umumnya, jika sang bapak dan ibu pergi bekerja, anak akan dititipkan pada
kakek neneknya. Aku bersyukur ya Rabb, karena masa kecilku indah sekali berkat
kehadiran mbah uti.
Mbah Uti dan Makanan Kesukaan
Mbah uti yang memperkenalkanku
pada ‘Endog So’ alias telur daun melinjo. Godhong so adalah
bahasa jawa dari daun melinjo. Kebetulan di depan rumah mbah uti ada tanah
lapang milik tetangga yang banyak tumbuh pohon melinjo. Mbah uti sering membuat
lauk telur didadar dengan irisan daun melinjo yang masih muda. Aku sering juga
diajak ‘berburu’ daun melinjo muda, di kebun tetangga, tapi sudah ijin hehe.
Padahal rasanya biasa saja, tapi telur so menjadi salah satu makanan kesukaanku
yang kala itu picky banget sama makanan. Pernah saking kangennya, aku
membuat telur so versiku sendiri. Tapi karena di Maumere susah mencari daun
melinjo, akhirnya kuganti dengan daun bayam :’( ya jelas beda rasanya hehe.
Tapi tidak apa, begitulah caraku mengobati sindrom rindu mbah uti.
Cara membuatnya mudah sekali,
tinggal siapkan telur, daun melinjo muda yang diiris tipis, dan garam.
Campurkan semuanya (dadar seperti biasa), lalu goreng dalam minyak panas.
Alhamdulillah obat rinduku mudah.
Mbah Uti dan Tradisi
Jikalau boleh mendeskrispikan
mbah uti, almarhumah (astaghfirullah masih berat rasanya sebutan ini) adalah
sosok yang sangat kejawen alias menjunjung tinggi adat tradisi turun temurun.
Ada banyak sekali kebiasaan-kebiasaan yang selalu mbah uti lakukan tiap minggunya.
Mbah uti lahir bukan dari keluarga agamis, jadi memang masih tercampur adat
tradisi jawa kental yang mbah uti yakini. Beberapa tradisi mbah uti yang
kuingat yaitu ziarah kubur setiap selasa atau kamis, membuat sesajen setiap
weton almarhum mbah kakung dan almarhumah mbah buyut. Ya memang dalam Islam
tidak boleh seperti itu, semoga Allah mengampuni ketidaktahuan mbah uti. Satu
hal yang kuyakini, meski tradisi-tradisi tersebut selalu rutin mbah uti jalani,
almarhumah tidak pernah memaksa anak dan cucunya untuk ikut-ikutan atau
meneruskan tradisi tersebut. Sungguh tak pernah beliau mewarisi semua itu.
Wallahualam bisawab. Lapangkanlah jalan mbah uti Ya Rabb.
Kasih Sayang Mbah Uti
Bagian ini adalah yang paling
sulit dilupakan. Mbah uti adalah sosok yang tidak pernah memarahiku. Tidak
pernah berkata kasar padaku. Mbah uti yang selalu memprioritaskan kebutuhan
orang-orang yang beliau sayang. Mungkin jika kuingat-ingat lagi, pelajaran
tentang kasih sayang dan kelembutan kuperoleh dan kupelajari dari mbah uti.
Beliau mencontohkan tanpa terlalu banyak teori. Bagaimana harus bersifat
sebagai seorang perempuan jawa yang penuh unggah-ungguh, beliau mencontohkan
semuanya. Mengingatkanku, mengajariku agar selalu menggunakan bahasa jawa halus
yang benar setiap kali berbicara dengan orang yang lebih tua. Membungkukkan
badan sedikit ketika melewati tetangga yang lebih tua. Memberi salam, memuji
dan berbasa-basi, kupelajari semua dari mbah uti. Mbah uti juga sering mengajakku
ke pasar, berbelanja sambil menawari aku mau jajan apa, hehe. Mbah uti terbaik.
Mbah uti juga merupakan sosok
seorang istri yang sangaat menyayangi suami. Terbukti dari beberapa percakapan
kami, beliau menyelipkan cerita heroik mbah kakung. Berusaha agar cucunya ini
mengenal mbah kakungnya yang sudah lama tiada, jauh sebelum cucunya dilahirkan.
Tak pernah sekalipun mbah uti mengeluhkan hidup yang berat pasca ditinggal mbah
kakung. Selalu hanya cerita yang baik-baik saja yang beliau ceritakan. Padahal,
dari cerita bapak, hidup mbah uti sulit sekali setelah kepergian mbah kakung.
Dengan tujuh orang anak, tidak punya pendidikan yang baik, mbah uti harus
meneruskan perjuangan seorang diri. MashaAllah, ya Rabb, semoga Engkau
melapangkan jalan kuburNya. Mbah uti juga tak pernah absen ziarah kubur, dan
inilah momen yang kutunggu-tunggu setiap minggunya. Mbah uti telaten sekali
mengenalkanku pada nisan-nisan di sekitar mbah kakung. Entah itu saudara jauh,
tetangga atau siapapun, beliau menyempatkan untuk medoakan. So sweet
sekali mbah uti.
Pernah kala itu mbah uti
menceritakan tentang salah satu saudara bapak, yang memang memiliki relasi yang
kurang baik dengan keluarga besar. Mbah uti selalu berusaha memberi pembelaan,
namun kadang ditangkap berbeda oleh anak-anaknya yang lain. Hingga kala itu
bercerita, pakdhe yang selama ini beliau bela, adalah yang paling rajin
menemani mbah uti memasak di dapur. Menemani mbah uti menyiapkan dagangan untuk
dijual, di saat anak-anaknya yang lain sibuk dengan urusan masing-masing. Mbah
uti menyayangi semua anak-anaknya tanpa terkecuali. Pun sama halnya dengan
cucu-cucu. Tak pernah aku pulang ke solo tanpa membawa apapun, mbah uti selalu
menyiapkan buah tangan. Jika pohon alpukat milik tetangga berbuah, mbah uti
selalu menyimpan beberapa untukku, hehe. Makasih mbah uti.
Mbah Uti dan Permainan Masa Kecil
Permainan masa kecil yang paling
membekas di benakku adalah ‘Pasaran’ dan Boneka Kertas. Pasaran
alias bermain masak-masak selaluu menjadi permainan wajib saat aku menginap di
rumah mbah uti. Biasanya pagi menuju siang, mbah uti mengajakku ke kebun
tetangga untuk memetik beberapa bunga, daun atau tumbuh-tumbuhan unik lain,
sebagai bahan masakkan yang akan dieksekusi nanti, hehehe. Seru sekali, aku
mengumpulkan banyak bunga, ada juga gulma yang bentuknya seperti mie warna
kuning, daun-daun dengan bentuk lucu, dan masih banyak lagi. Setelah terkumpul,
kami kembali ke rumah dan bermain di pekarangan. Seolah-olah menjadi chef,
hahaha.
Permainan boneka kertas mirip
dengan permainan boneka barbie. Mengganti baju dan seolah-olah memiliki kehidupan,
tempat tidur, makan dan sebagainya. Namun, mbah uti membuatnya sendiri dari
kertas, benang dan sapu lidi, hehehe. Kalau dipikir-pikir, kreatif juga
simbahku ini. Permainan sederhana namun membekas luar biasa. Mbah uti, semoga
disana kamu bahagia ya mbah.
Mbah uti dan Kebiasaan Baik
Mungkin ini yang terakhir yang
sanggup kutuangkan dalam tulisan. Mbah uti merupakan perwujudan perempuan jawa
yang berhasil. Berhasil menjaga kebiasaan baik. Kami, cucu-cucunya yang
perempuan, selalu diminta untuk bangun pagi, mengerjakan pekerjaan rumah
seperti menyapu, mencuci, memasak, semua diajarkan kepada kami dengan penuh
lemah lembut. Alhasil aku pun tidak pernah merasa terpaksa melakukannya. Ada
juga momen dimana setiap pagi mbah uti mengingatkan untuk menyiapkan teh hangat
dan sarapan untuk bapak sebelum beraktifitas. Wajib perut terisi sebelum
meninggalkan rumah. Mbah uti juga selalu menjamu tamunya dengan baik,
memanggilku supaya segera menyiapkan teh dan kudapan untuk dihidangkan. Ah
rasanya semua unggah-ungguh aku pelajari dari beliau. Momen sebelum tidur pun
tak kalah asiknya. Mbah uti selalu tidur di depan televisi bersamaku, tanpa
kasur, hanya tumpukan kain agar tidak dingin. Begitu saja aku sudah tidur
nyenyak. Ya Rabb, lapangkanlah jalan mbah uti.
Aku bersyukur sekali, Allah
memberiku sosok seperti mbah uti. Meski di ujung usianya, aku tak bisa
berkontribusi banyak. Penyesalan terbesarku, astaghfirullah. Luangkan waktumu
untuk menjenguk orang-orang yang kamu sayangi, orang-orang yang menyayangimu,
agar tak menyesal karena terlambat menyadari betapa berharganya waktu.
Pinta mbah uti saat aku masih
kecil dulu sederhana sekali, “sesuk nek wes gedhe ngumbahke jarike mbah uti ya
nduk.” Atau dalam Bahasa Indonesia, “besok kalau sudah besar, cucikan kain
jarik mbah uti ya nduk.” Tapi apalah dayaku, saat aku besar malah merantau jauh
dan jarang sowan mbah uti.
Terkahir kali aku bertemu mbah
uti, Juni 2021 saat aku pulang kampung. Mbah uti sudah beberapa kali sakit,
sudah tidak bisa mengingat dengan baik, sudah berkurang pendengaran dan
penglihatannya, sudah sering meracau tak tentu topiknya. Kurus sekali, lebih
kurus dariku. Sedih rasanya melihat mbah uti sakit. Mungkin benar, ini yang
terbaik. Mbah uti berpesan lagi saat pertemuan terakhir kami, beliau berpesan supaya
aku bisa menjaga adik-adikku dan juga adik sepupuku. Beliau senang sekali saat
kuberitahu aku sudah punya rumah, punya kendaraan (padahal belum, hehe, untuk
menenangkan hatinya saja). Beliau juga mendoakan supaya aku lekas bertemu jodoh
yang baik, yang mempunyai pekerjaan yang baik. Ya Rabb, ampunilah segala dosa
dan kesalahan kami. Tak akan Kau timpakan sesuatu yang tak sanggup kami
tanggung.
Aku tidak tau pasti apakah mbah uti termasuk muslim
yang baik atau bukan, namun beliau adalah nenek yang baik, istri yang baik, ibu yang baik,
tetangga yang baik. Mbah uti, maafin aline, doakan aline semoga bisa mewujudkan
keinginan mbah uti. Semoga kami semua rukun, tidak berselisih, tidak melupakan
sifat-sifat baik yang mbah uti coba wariskan. Semoga mbah uti disayang Allah di
sana. Semoga bertemu dengan mbah kakung di sana. Semoga kita bertemu lagi nanti
ya mbah. Aline sayang sekali sama mbah uti, tak terbendung, tak terhitung, tak
berujung.
Tenang di sana mbah uti. Mohon doa untuk mbah uti kami.
10 Juli 2021.
Comments
Post a Comment