Di balik orang yang teledor, ada potensi menjadi orang baik.
Sengaja menjadikan kalimat yang kontradiktif sebagai pembuka postingan kali ini. Maksudnya apa sih, di balik orang yang teledor kok bisa ada potensi menjadi orang baik?
Saya akan menceritakan tentang diri saya, yang teledor dan pelupa. Bukan sifat unggulan memang, tapi terlalu berkesan bagi saya pribadi untuk tidak diceritakan. Ya, saya akan menceritakan kejadian yang bisa saja menjadi sebuah pengalaman buruk namun atas kebaikan beberapa orang, berubah menjadi pengalaman baik yang akan selalu saya kenang.
Saya adalah manusia teledor abad 21. Sering lupa menaruh barangnya dimana. Sering bingung karena tidak ingat meletakkan sesuatu, entah dimana kadang hanya saya si teledor dan Allah yang tahu, hehehe. Sungguh merepotkan ya, ketika ada saya di hidup dan kehidupan kalian hehehe.
Suatu waktu, di tahun 2019, sepulang saya bekerja, matahari masih nampak sedikit. Senja menuju maghrib, saya putuskan untuk mampir ke salah satu swalayan kenamaan di Maumere. Tempat dimana saya selalu merasa senang meski hanya datang melihat-lihat, mengingatkan saya pada keseruan belanja di tanah kelahiran, aduh rindunya. Seperti biasanya, saya masuk ke dalam, memilih apa yang hendak saya beli, membayar di kasir, kemudian keluar untuk membayar parkir.
Sesampainya saya di atas motor, kang parkir datang menghampiri. Saya tidak curiga, karena memang begitulah SOP-nya. Saya sudah menyiapkan selembar dua ribu Rupiah untuk jasa kang parkir dan bersiap untuk menerima seribu Rupiah kelebihan pembayaran. Iya, di Maumere tarif parkir cuma seribu, ramah ya.
Anehnya, kang parkir memasang raut muka serius, sedikit heran karena tak seperti bisanya. Lantas ketika kang parkir sudah di depan motor, beliau berkata,
"Nona, ini nona pung handphone kah?", sambil menunjukkan smartphone ASUS yang case-nya sudah buluk. Astagaaa, saya menepuk jidat, sambil tertawa, tanpa penyesalan. Iya, kang parkir mengkonfirmasi apakah handphone yang sedang ia bawa adalah benar milik saya.
"Nona, ini nona pung handphone kah?", sambil menunjukkan smartphone ASUS yang case-nya sudah buluk. Astagaaa, saya menepuk jidat, sambil tertawa, tanpa penyesalan. Iya, kang parkir mengkonfirmasi apakah handphone yang sedang ia bawa adalah benar milik saya.
"Saya lihat di dashbor Nona pung motor, saya simpan." katanya sambil menyerahkan ASUS dan tertawa.
"Tidak ingat kah tertinggal disitu? Lain kali hati-hati e nona."
"Tidak ingat kah tertinggal disitu? Lain kali hati-hati e nona."
Saya berucap terima kasih, tak terhitung jumlahnya. Untung beliau baik budi pekertinya, tidak silau akan harta dunia, yah meski ASUS yang saya miliki jauh dari spesifikasi barang mewah, tapi kan tetep bisa dijual hehehehe.
Saya kemudian menyerahkan uang dua ribuan yang sudah saya siapkan tadi.
"Tidak usah kembalian om, terima kasih banyak ya om. Semoga Tuhan yang balas." ucap saya mantap. Tuhan pasti menyaksikan dan sudah merencanakan hal baik untuk kang parkir yang sangat baik. Ya Allah, berilah selalu limpahan rizki dan kesehatan untuk beliau.
Lantas saya berfikir, lewat keteledoran saya, manusia lain bisa beramal, hehehe ngeles.
Saya kemudian menyerahkan uang dua ribuan yang sudah saya siapkan tadi.
"Tidak usah kembalian om, terima kasih banyak ya om. Semoga Tuhan yang balas." ucap saya mantap. Tuhan pasti menyaksikan dan sudah merencanakan hal baik untuk kang parkir yang sangat baik. Ya Allah, berilah selalu limpahan rizki dan kesehatan untuk beliau.
Lantas saya berfikir, lewat keteledoran saya, manusia lain bisa beramal, hehehe ngeles.
Cerita lainnya, masih terjadi di tahun 2019. Waktu itu di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali. Saya dan rombongan kerbau sedang bersiap menuju ke Gate 4 kalau tidak salah, untuk segera naik ke pesawat tujuan Jogjakarta. Kami hendak menghadiri pesta pernikahan salah satu rekan kerja kami di Surakarta.
Saya sudah mengambil antrian untuk pengecekan boarding pass, namun sesuatu menyadarkan saya. ASUS saya manaaaa???? Saya panik, menyadari smartphone saya tidak ada di saku celana, di dalam tas, di dalam plastik Bali Banana juga tidak ada. Saya ingat ingat dan ingat lagi, aduh, tertinggal di Lounge. Tentu tidak ada waktu untuk misuh-misuh. Segera saya menitipkan si Bali Banana, yang cukup banyak dan berat itu, pada salah satu anggota rombongan kerbau. Sambil dimaki-maki tentu saja, sahabat-sahabat saya itu memang menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan marah-marah.
Lari secepat dan segesit yang saya bisa. Sampai di pintu belakang Lounge, saya meminta ijin kepada mbak penjaga untuk bisa diberi akses free pass. Masih ngos-ngosan, saya memberi penjelasan bahwa smartphone saya satu-satunya ketinggalan di dalam. Si mbak yang sangat cantik dan baik itu akhirnya mempersilahkan masuk tanpa pikir panjang. Saya melompat ke arah kursi yang tadi saya duduki. Lega rasanya, melihat ASUS masih ada disana, tergeletak dengan charger yang masih terpasang.
Saya segera mengambilnya dan lari ke arah mbak yang baik tadi sambil mengucapkan terima kasih. Si mbak melihat saya dengan mimik muka iba. Bagaimana tidak, saya keringetan padahal Bandara Ngurah Rai dinginnya seperti rumah Suku Eskimo. Well, Tuhan menyelamatkan saya dari kehilangan ASUS dan dari potensi ketinggalan pesawat.
Begitulah sebagian kisah saya tentang eksistensi kebaikan. Kecil namun berarti besar untuk saya. Sebuah peringatan bagi saya untuk segera meminimalisir sifat ceroboh dan memperbanyak sifat baik, namun sulit heheheh.
Sekian cerita tentang merayakan keteledoran. Ada orang baik yang selalu merepresentasikan Pencipta yang tak kalah baik.
Semua orang punya bakat menjadi baik.
Salam,
Alinea.
Saya sudah mengambil antrian untuk pengecekan boarding pass, namun sesuatu menyadarkan saya. ASUS saya manaaaa???? Saya panik, menyadari smartphone saya tidak ada di saku celana, di dalam tas, di dalam plastik Bali Banana juga tidak ada. Saya ingat ingat dan ingat lagi, aduh, tertinggal di Lounge. Tentu tidak ada waktu untuk misuh-misuh. Segera saya menitipkan si Bali Banana, yang cukup banyak dan berat itu, pada salah satu anggota rombongan kerbau. Sambil dimaki-maki tentu saja, sahabat-sahabat saya itu memang menunjukkan rasa kasih sayangnya dengan marah-marah.
Lari secepat dan segesit yang saya bisa. Sampai di pintu belakang Lounge, saya meminta ijin kepada mbak penjaga untuk bisa diberi akses free pass. Masih ngos-ngosan, saya memberi penjelasan bahwa smartphone saya satu-satunya ketinggalan di dalam. Si mbak yang sangat cantik dan baik itu akhirnya mempersilahkan masuk tanpa pikir panjang. Saya melompat ke arah kursi yang tadi saya duduki. Lega rasanya, melihat ASUS masih ada disana, tergeletak dengan charger yang masih terpasang.
Saya segera mengambilnya dan lari ke arah mbak yang baik tadi sambil mengucapkan terima kasih. Si mbak melihat saya dengan mimik muka iba. Bagaimana tidak, saya keringetan padahal Bandara Ngurah Rai dinginnya seperti rumah Suku Eskimo. Well, Tuhan menyelamatkan saya dari kehilangan ASUS dan dari potensi ketinggalan pesawat.
Begitulah sebagian kisah saya tentang eksistensi kebaikan. Kecil namun berarti besar untuk saya. Sebuah peringatan bagi saya untuk segera meminimalisir sifat ceroboh dan memperbanyak sifat baik, namun sulit heheheh.
Sekian cerita tentang merayakan keteledoran. Ada orang baik yang selalu merepresentasikan Pencipta yang tak kalah baik.
Semua orang punya bakat menjadi baik.
Salam,
Alinea.
Comments
Post a Comment