Ingin ungkapkan perasaan padamu
Tetapi kamu seperti tak tertarik
kepadaku
Karna reaksimu terbayang
dibenakku
Meski cowo bilang gadis ideal
yang punya kepribadian baik
Penampilan itu menguntungkan,
selalu hanya gadis cantik saja
yang kan dipilih menjadi nomor satu ~
mengutip salah satu lirik lagu
JKT 48, yang yah selalu berhasil membuat
saya ‘menghayati’ setiap kali bagian itu dinyanyikan. Menghayati? Jelas saja
lah, hahaha. Lirik tersebut di atas memang nyata adanya. Begitulah dunia
memandang dan memperlakukan kaum hawa. Ada yang mau membantah? Well, memang
tidak semuanya begitu, namun mayoritas memang begitu kan? Oh, what on earth.
Kita hidup di dunia yang memiliki
ukuran relatif untuk menilai setiap bagian kehidupan. Good, Bad, Not Bad,
Smart, Stupid, Beautiful, Handsome, poor, Rich, etc. Semua itu kita yang
ciptakan bukan? Akui sajalah. Hehehe. Dan parahnya, tak jarang kita ‘kerepotan’
dengan batasan nilai yang kita buat sendiri. How can?
Munculah berbagai macam tindak
tanduk yang mengarah pada diskriminasi atas diterapkannya ukuran relatif yang
kita buat sendiri. Saya menyebutnya pelanggaran HAM terselubung dan halus.
Maaf.
Memang tidak ada yang salah
ketika kita menilai seseorang buruk, tapi jika penilaian kita ikut mempengaruhi
cara kita memperlakukan mereka, itu kesalahan fatal. Setiap orang yang punya
kelebihan fisik atau materi misalnya, selalu diperlakukan lebih baik. Sedangkan
yang mempunyai kekurangan di bagian fisik, materi, ibarat sudah jatuh tertimpa
tangga pula. Sudah berat beban hidup yang harus mereka tanggung, eh malah
semakin bertambah dengan adanya ‘pembedaan’.
Manusia yang katanya diberi
kelebihan akal dan iman oleh penciptaNya, malah bertingkah seolah tidak paham
hakikat keadilan. Di saat banyak yang berkoar-koar tentang keadilan, kesetaraan,
namun hal yang bisa dianggap krusial, pelanggaran ‘halus’ yang kerap kali
dilakukan malah luput dari ‘koar-koar’ kita semua.
Mungkin pembaca blog ini pernah
mengalami perilaku buruk seperti yang saya singgung. Atau mungkin pembaca blog
ini pernah menjadi ‘tersangkanya’. Tenang saja, saya tidak akan menghakimi
siapapun. Toh semua yang saya tulis adalah adat istiadat yang sudah terlanjur
mendarah daging di kehidupan yang indah ini.
Dan tak munafik, saya pun pernah
menjadi keduanya. Tak bisa dipungkiri. Maaf. Namun apakah selamanya akan
seperti ini? Ingat petuah “Hargai orang lain jika ingin diri sendiri dihargai”.
Semua orang berhak mendapat ‘penghargaan’ itu, selagi mereka menghargai
selainnya. Ingat juga kan yang sering kita dengar di pengajian bahwa “Setiap
manusia kedudukannya sama di hadapan Allah”. Bahkan pencipta kita saja tidak
membeda-bedakan ciptaanNya. Nah kita yang notabenenya adalah sama-sama ciptaan,
malah saling membuat jembatan pembeda. Astaghfirullah.
Jangan tertipu dengan gemerlapnya
dunia. Fana. Sementara. Mortal.
alinea
Comments
Post a Comment