Yang Tertinggal dari Quarter Life

Jika Allah mengijinkan, saya akan genap berusia 26 di akhir bulan Juni kelak.

Saya sudah melewatinya, apa yang orang sebut quarter life, but the crisis is still here. Apa yang kiranya mampu saya tangkap selama 26 tahun hidup di dunia akan coba saya tuliskan disini. Setelah postingan terakhir saya di bulan Februari, nyatanya memaksa diri untuk giat menulis bukan hal yang mudah dan saya sering kalah.

Ijinkan saya menuliskannya dengan pelan, hanya untuk diri saya sendiri. Apabila tulisan ini terbaca oleh rekan-rekan, maka sungguh itu hanyalah sebuah bonus. Sebab saya selalu meyakini, bahwa tulisan akan sampai ke tangan pembaca yang membutuhkan. Atas seijin Allah tentunya.

Aline menuju dua puluh enam. Masih berkutat dengan dirinya sendiri, belum berdampak banyak. Entahlah, itu yang mampu saya tangkap. Aline belum berani menikah, belum berani memulai karir yang baru. Memangnya siapa yang menuntut Aline melakukan semua itu? Aline is just a human being not a human-doing. Tugasnya saat ini ya hanya menjalani peran yang tersaji.

Aline membaca banyak buku. Sebagai pelampiasan sepi katanya, bukan kebutuhan akan literasi. Namun, siapa sangka, niat itu berubah sendiri. Tanpa buku, Aline tak akan memiliki pemikiran seeperti sekarang ini. Lewat tulisan ia belajar, mengenali dirinya sendiri, menerima segala takdir yang tersaji, menyadari statusnya sebagai hamba yang lemah, yang selalu butuh bimbingan dan pertolongan.

Lucu memang ketika kita harus mendeskripsikan diri kita sendiri. Apakah ini akan berlangsung objektif? Entahlah kita coba saja hehe.

Jadi, apa yang sudah Aline dapatakan selama hidup 26 tahun di bumi yang maha luas ini?

Iman kepada Qada dan Qadr adalah rukun iman paling sulit, perlu latihan setiap hari.

Apa yang membuat Aline merasa sedih tak berkesudahan? Pikirnya suatu waktu.

Dia rajin membaca, mempunyai banyak teman meski jauh tak terkira, memiliki pekerjaan yang banyak diinginkan orang, keluarga yang masih lengkap dan sehat, apa kiranya yang membuat rasa sedih itu hadir? Perasaan iri yang menggelayuti, seolah semakin memperolok takdir yang sedang ia jalani. Aline, kenapa kamu sial sekali.

Ternyata ada palung besar di dalam hatinya. Ia belajar namun tak menemukan jawaban. Hingga suatu hari Allah ijinkan jawaban itu mendekati. Ia tak punya pengetahuan yang komprehensif tentang makna Qada dan Qadr. Jika mengetahui secara pasti saja tidak dilakukan, maka jangan harap iman itu datang. Semua butuh waktu, merangkai puzzle yang berserakan. Qada dan Qadr sungguh dekat sekali dengannya. Hidup yang sedang ia jalani, peran yang sedang ia hidupi, tertulis rapi sesuai kehendak Illahi. Selesai sudah semua kesedihan.

Aline akhirnya menyadari, segala ketetapan yang tepat sudah menyertai sejak ia dilahirkan ke bumi. Hasil yang ia nikmati saat ini, tidak akan pernah cukup untuk memenuhi segala hasrat duniawi. Namun selalu cukup apabila selalu disyukuri tanpa tapi. "Bukan pada jumlahnya namun berkahnya", kata-katanya yang selalu diulang setiap hari.

Beriman pada Qada dan Qadr bukan perkara mudah, itulah mengapa hadiahnya surga. Kalau mudah ya gak akan dapat hadiah.

Pengetahuan manusia sangat terbatas.

Lihat segalanya lebih dekat dan ku bisa menilai lebih bijaksana. - Sherina Munaf

Lirik lagu yang sering sekali didengungkan Aline pada saat ia kebingungan dengan apa yang sedang menimpanya. Manusia dengan segala angan dan asanya, memiliki banyak sekali keterbatasan. Termasuk di ranah pengetahuan. Ada sunatullah yanng membuat segala sesuatunya dapat dengan mudah dicerna. Jika melakukan A maka B. Namun terkadang, hasil B inilah yang memiliki makna beragam. Ia sering salah mengartikan maksud Allah memberikan B untuk dirinya.

Seperti saat ia berusaha menerima segala ketetapan yang tersaji, kadang masih sulit hatinya untuk mematuhi teori yang diyakini. Nyatanya, sesuatu yang tidak diberikan untuknya memang bukan sesuatu yang ia butuhkan. Buktinya, segala angan yang tidak kejadian merupakan jawaban akan pilihan yang lebih tepat untuk disandang. Ia manusia biasa, yang terbatas pengetahuannya. Merasa hidup tidak adil padahal kesadarannya yang masih kerdil.

Namun sekarang sudah membuka lebar mata tak hanya indra namun juga mata batin. Manusia terbatas pengetahuannya, tak mampu menembus dimensi Sang Khaliq. Untuk itu selalu dengan rendah hati, ia memohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa, untuk selalu diberi petunjuk yang bukan bertujuan untuk menyombongkan diri karena lebih pintar dari orang lain namun demi memperoleh ketentraman hati. Sebab semua bisa berjalan beriringan, logika dan rasa. Letakkan semua pada tempat yang seharusnya.

Tak akan pernah bisa menyenangkan semua orang.

Aline pernah merasakan pahitnya tidak punya teman. Mungkin itulah mengapa ia selalu berusaha menyenangkan orang lain agar ia tidak ditinggalkan. Bukan hal yang buruk memang, namun melelahkan. Akan ada satu titik batas kesabaran dan kesadaran yang memunculkan sifat aslinya. Bagaimana ketulusan bisa hadir bila bersumber dari ketakutan?

Ia memutuskan untuk menjadi seapa-adanya diri. Tak sanggup meladeni segala kisi-kisi yang harus dipenuhi untuk menyenangkan hati manusia lain. Friendship is a voluntary bounding, kecamnya suatu waktu. Mengancam diri sendiri untuk mampu memahami, tak semua hal wajib kita kuasai. Bukankah kita adalah magnet yang akan menarik rekan-rekan satu frekuensi? Bukankah ada Allah yang selalu menjadi teman sejati? Bukankah ada malaikat Raqib dan Atid yang selalu mengawasi? Aline sadar, ia tak pernah sendiri.

Dunia yang fana selalu menilai hasil, namun Allah menilai proses.

Dalam dunia korporasi yang menuntut performa tinggi, Aline merasa keadilan sering tidak hadir menyertai. Ia telah bekerja lebih keras dan lebih baik namun nilai yang didapat tidak pernah lebih tinggi. Nilainya di mata dunia selalu biasa-biasa saja, bahkan pernah anjlok tak ada harganya. Saking seringnya mendapat feedback yang buruk, ia merasa tak perlulah memberikan usaha maksimal. Setelah menjalani hari dengan effort biasa-biasa saja, ia mulai menyadari bahwa ketentraman hatinya ikut menyingkir seiring dengan usahanya yang minim. Feedback tetap buruk dan batin yang tak pernah terpuaskan.

Lantas ia menyadari, bahwa sebaik-baiknya apresiasi adalah apresiasi dari penduduk langit, bukan penduduk bumi. Bagaimana mungkin ia hanya menggantungkan nilai diri pada penilaian manusia yang terbatas pengetahuannya? Manusia tentu hanya mampu melihat hasil, sebab mereka tak memiliki sistem penilaian paripurna selayaknya sistem yang dimiliki malaikat Raqib dan Atid, selalu mencatat 24 x 7 tanpa absen. Tak pernah menghiraukan hasil, sebab hasil sudah dijamin. Aline akhirnya memahami, bahwa prosesnya lah yang harus ia maksimalkan. Bahwa akumulasi kerja keras tak harus dinikmati hasilnya saat ini, bisa jadi menjadi tabungan yang akan dinikmati nanti.

Manusia sejatinya sedang menabung amal dan perbuatan baik, selain itu tak adalah artinya berlelah-lelah di dunia.

Menikah, berkeluarga dan punya rumah sawah mobil mewah, bukan tujuan namun sarana.

Pertanyaan yang kerap menghantui kepalanya yang kecil adalah bagaimana kelak ia akan menjalani kehidupan?

Ketakutan yang ia pelihara ternyata menjadi gemuk dan mulai meresahkan. Masa lalunya memang tidak ideal, penuh kenangan yang sulit dilupakan. Ia takut semuanya terulang kembali. Perasaan sedih, perasaan tidak berdaya, perasaan ditinggalkan, perasaan takut, masih terngiang jelas. Sudah coba untuk dikupas namun mungkin memang mereka ingin tinggal lebih lama. Hanya saja Aline berusaha membuatnya sebagai pengingat diri. Cukup sebagai pengingat diri. 

Kenangan akan perasaan buruk tersebut hadir bukan untuk menjadi penghalang langkah, namun sebaliknya, menjadi reminder yang akan selalu mengingatkan akan pentingnya kerja keras yang dibarengi dengan perasaan cukup. Tanpa kerja keras, akan sulit melunakkan dunia. Tanpa perasaan cukup, akan sulit memenuhi hasrat keduniaan yang selalu fana.

Tujuan hidupnya bukan lagi menikah, berkeluarga, punya rumah sawah dan mobil mewah, sebab itu bukan jaminan bahagia. Meski terkadang terbersit keinginan untuk memiliki, selalu berusaha ia pagari dengan pemahaman bahwa selayaknya sarana, mereka berhak diperjuangkan namun tak didapat pun tidak mengapa. Menjadi seseorang yang sukses dunia akhirat di jalan yang diridhoi Allah, mungkin begitulah life goal-nya saat ini. Ayo pembaca bantu amin-kan hehe.

Mendengarkan podcast adalah jalan ninja yang menyenangkan untuk ditempuh.

Hobi baru Aline selain membaca buku adalah mendengarkan podcast. Favoritnya adalah Thirty Days of Lunch, Endgame by Gita Wirjawan, Faithamins Podcast, dan masih banyak lagi. Genre-nya gak jauh-jauh dari self improvement dan religi. Wah, kenapa hidupnya terlalu kaku. Barangkali, selera humornya ada di tempat lain hehe. Selamat menyelami kesukaan saat ini, Lin! Jangan hiraukan omongan orang tentang dirimu yang sedang berproses.


Mungkin itulah beberapa yang sanggup saya tulis hari ini. Tak akan menjadikan usia sebagai patokan, namun tentu saya butuh parameter sejauh mana saya sudah berkembang. Jika menilik ke belakang, tentu sudah banyak yang berhasil dilakukan. Dan semoga Allah memberi kesempatan kepada saya untuk melakukan lebih banyak lagi, di dunia yang fana ini, di waktu yang sempit ini.

Semangat untuk kita semua. Jangan pernah berputus asa dari rahmat Allah!

Comments