Karena Koruptor Tidak Ada yang Bodoh

Halo apakah anda seorang aktivis kampus? Wah kebetulan, saya juga. hehe
Kemarin saya dan teman-teman aktivis yang lain menyempatkan diri untuk sharing mengenai problematika yang kerap kali mengganjal dan membuta kami terseok-seok dalam menjalakan roda organisasi. Dan dari sharing tersebut ada salah satu topik yang membuat saya sedikit tercengang dan aih, tertampar.
Yah, seorang teman menyerukan gagasannya dengan sangat jelas dan yap saya membenarkan dalam hati. 
Bukan topik utama sharing kami memang, namun kalau saya pikir-pikir, ini seperti kebiasaan buruk yang sudah menjadi tradisi. Dan tak banyak yang berani menyinggung bahkan menampilkannya ke dalam forum seperti ini.
Kosakata yang sangat tidak asing di telinga masyarakat. Korupsi.
Itulah topik yang teman saya usung. 
Saya ingat betul, dia mengatakannya dengan bahasa yang sangat mudah dicerna. Taukah kenapa? karena memang tak sulit menceritakan kembali aktivitas yang sering kita lakukan. Em, maaf, sering kami lakukan.
Bukan bermaksut menjelek-jelekkan organisasi sendiri, namun jika tak diusut, kebiasaan buruk akan semakin tersamarkan dengan pembenaran-pembenaran yang sebenarnya tidak ada esensi benar-nya sama sekali.
Korupsi yang teman saya maksut adalah ketika kami dihadapkan pada realita adanya sisa dana program kerja yang kemudian tak jelas diarahkannya kemana. gambaran lebih pastinya adalah ketika laporan pertanggung jawaban yang kami susun tidak menunjukkan realita yang sebenarnya. Di atas kertas tertulis nominal sekian rupiah, namun realitanya, who knows? 
Entahlah, namun tidak bisa dipungkiri, kami para anggota organisasi memang sudah terdidik untuk menerapkan prinsip "dana minimal untuk hasil maksimal", kalau ada dana sisa, yasudah kerja bagus. Bukan suatu hal yang salah jika memang sisa dana menunjukkan nominal yang fantastis, yang salah adalah ketika nominal yang terlapor tidak sesuai dengan realita fisik uang yang ada. Dengan kelihaian memanipulasi data, akhirnya engingeng, koruptor memang tidak ada yang bodoh. Akhirnya kemanakah jalannya uang yang berlebih tersebut? Masuk kas? really? bukankah setiap nominal kas juga akan terlapor di sebuah laporan pertanggung jawaban? semua nominal arus kas masuk dan keluar harus ada sumbernya bukan? Disitulah pertanyaan yang spontan menyeruak setelah teman saya melontarkan kata korupsi. 
Kenyataan yang kerap kami temui memang seperti itu. Dan pertanyaan yang mengganjal lainnya adalah Where? Where is the money?  
Entahlah, aku semakin tidak paham dengan realita organisasi saat ini. Kalimat yang teman saya lontarkan ketika menutup pembahasannya adalah 

"Kalau kalian masih ingin menerapkan tradisi yang seperti itu, maaf, aku mundur saja. Aku di sini bukan mau cari uang, aku mau cari ilmu buat nanti bekal nyari uang."

Berasa ada angin yang lewat wuus.
Teringat komitmen saat perekrutan dulu. Ilmu dan pengalaman lah yang menjadi pusat motivasi, bukan materi. Kerja keras, kerja cerdas dan yang terakhir adalah kerja ikhlas. Di organisasi, semua bekerja bukan untuk mendapatkan gaji. Aset organisasi tetaplah aset organisasi. Kami harusnya lebih memahami hakikat kerja ikhlas. Semoga lekas datang pemahaman baik dan penerapannya. Mahasiswa harusnya sih jadi pelopor anti korup, bukan pelopor pro korup. Ingat, pejabat tinggi yang tersenggol kasus korupsi dulunya pastilah seorang mahasiswa. Ngga ada koruptor yang bodoh.
Semangat perubahan! 




Comments